Islam adalah sebuah ad-diin. Secara umum kita memadankan kata itu
dengan kata agama dalam bahasa Indonesia. Dan jika mendefinisikannya
kata itu kita pahami sebagai agama yang mengatur hubungan antara seorang
hamba dengan Penciptanya. Ternyata pengertian kata ad-diin tidak
sesederhana itu. Tahukah Anda bahwa secara etimologi saja kata ad-din
memiliki cakupan arti yang sangat luas, sesuai dengan substansinya.
Setidaknya seperti empat pengertian di bawah ini.
1. As-sulthah wal al-qahru (artinya kekuasaan atau memaksa).
Pengertian ini seperti perkataan orang Arab: dintu al-qauma, artinya aku paksa kaum itu atau aku kuasai. Maksudnya, ketika seseorang memeluk dan mengikuti suatu ad-diin,
ia telah menyerahkan dirinya untuk dikuasai olehnya dan pada gilirannya
bersedia dipaksa untuk menjalankan aturan-aturan. Tentu saja hal itu
dilandasi oleh keyakinan terhadap kebenaran yang ada pada ad-diin itu,
dan keyakinan bahwa orang itu akan mendapatkan apa yang diinginkannya,
yaitu berupa kebahagiaan.
Dengan menggunakan pengertian seperti
itu, di surat Al-Waqi’ah ayat 85-86, Allah swt. bertanya setara retoris,
apakah manusia, kita, ingin lepas dari penguasaan Allah swt? Jika ingin
lepas dari penguasaan Allah, manusia ditantang oleh Allah untuk
mengembalikan ruh ke jasad setelah dicabut dan dipisahkan darinya.
Namun, kenyataannya manusia tidak mampu karena kita memang tidak
memiliki kekuasaan untuk itu.
“Maka mengapa jika kamu tidak
dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada
tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Al-Waqi’ah:
85-86).
Karena itu, adalah wajar dan rasional jika Allah swt. yang
menciptakan manusia memaksakan sebuah aturan hidup kepada kita berupa
Ad-Diin Al-Islam.
2. Tunduk kepada kekuasaan itu.
Konsekuensi
dari mengikuti sebuah ad-Diin adalah ketundukan terhadap semua ajaran
dan aturannya. Seseorang dikatakan tidak menjadi pemeluk agama dengan
baik ketika ia tidak tunduk dan taat dalam menjalankan aturan agama
tersebut. Hal ini berlaku bagi semua ad-diin atau yang dianggap sebagai ad-din seperti ideologi, aliran, dan kepercayaan.
Kita
bisa lihat dalam kehidupan keseharian kita, setiap orang yang mengikuti
sebuah ideolog atau kepercayaan, mereka akan tunduk kepada
kepercayaannya itu, kendatipun ideologi itu menurut orang banyak sebagai
aliran dan ideologi sesat. Itulah yang terjadi di beberapa aliran. Para
pengikutnya rela mati karena mereka yakin betul bahwa hal itu adalah
implementasi dari ketundukan mereka kepada keyakinan yang mereka anut.
Islam adalah ad-diin yang diturunkan Allah swt., Sang Pencipta alam semesta, bagi manusia. Karena itu, Islam adalah diinul haqq (agama yang benar). Kenapa manusia tidak tunduk dengan total dengan semua ajaran dan aturan yang ada di dalam Islam?
3. Undang-undang yang bersumber dari kekuasaan tersebut.
Ad-diin juga identik dengan semua aturan dan undang-undang dari Sulthah
(kekuasaan). Karena setiap kekuasaan pasti mempunyai undang yang
berlaku bagi yang dikuasainya demi tercapainya keinginan dari kekuasaan
itu.
Allah menceritakan kisah Nabi Yusuf bersama
saudara-saudaranya. Yusuf membuat skenerio seolah-olah saudaranya
mencuri piala miliknya agar bisa bertemu dengan saudaranya itu. Dan
tidak sepatutnya baginya untuk menghukum saudaranya itu dengan
undang-undang kerajaaan. Allah berfirman,
“Maka mulailah Yusuf
(memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya
sendiri, kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung
saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf.
Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja,
kecuali Allah menghendaki-Nya. Kami tinggikan derajat orang yang kami
kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi
yang Maha Mengetahui.” (Yusuf: 76).
Allah juga berfirman, “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (Al-Kafirun: 6)
Ayat
ini adalah penolakan Allah atas tawaran damai orang-orang kafir Quraisy
kepada Rasulullah saw. Mereka tidak mengusulkan agar Nabi memeluk agama
mereka dan mereka memeluk agama Islam. Tetapi orang-orang kafir itu
mengusulkan Rasulullah dan mereka menjalankan aturan dan ibadah selama
satu tahun secara bergantian. Tentu saja usulan itu ditolak Rasulullah
saw. sebab sebuah diin tidak mungkin dicampuradukan aturan-aturannya
dengan aturan-aturan diin yang lain. Tidak mungkin aturan hidup yang
diturunkan Allah swt. dicampuradukan dengan aturan hidup yang
dikarang-karang oleh setan laknatullah.
4. Balasan bagi orang yang taat kepada undang-undang tersebut dan siksa bagi yang tidak taat.
Ad-diin
juga bermaknakan balasan bagi siapa yang taat menjalankan aturan itu
serta siksa bagi siapa yang tidak taat. Allah berfirman di surat
Al-Fatihah, dimana yaum ad-diin artinya hari kiamat dan hari
pembalasan. Allah swt. menisbatkan kekuasaan kepada Hari Pembalasan
karena pada hari itu tidak ada lagi klaim kekuasan selain klaim Allah.
Di hari itu tidak satu makhluk pun bisa melakukan sesuatu tanpa izin
Allah swt.
“Yang menguasai di hari Pembalasan.” (Al-Fathihah: 4)
Kata maalik (yang menguasai) jika dibaca dengan memanjangkan kata “mim” artinya pemilik. Sedangkan jika dibaca pendek, malik, artinya raja. Sedangkan frase yaumi ad-diin disebut juga yaumul qiyaamah, yaumul hisaab, yaumul jazaa’. Jadi, yaumi ad-diin
(hari Pembalasan) adalah hari yang di waktu itu masing-masing manusia
menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk.
Begitulah
hakikat kekuasan Allah swt. di pada hari itu. Allah swt. adalah
satu-satunya Raja yang memiliki kekuasaan penuh di hari pembalasan itu.
Ia memaksakan undang-undang dan aturan-Nya diterapkan untuk memberi
balasan pahala kepada orang yang telah beriman, tunduk secara total, dan
mengamalkan Ad-Diin (aturan-aturan) yang dibuat-Nya di dunia. Di hari
itu Allah juga memaksakan undang-undangnya ditegakkan dengan menghukum
setiap orang yang membangkang dari aturan-aturan-Nya selama hidup di
dunia.
Begitulah makna ad-diin secara bahasa. Semoga Allah swt.
mengilhamkan kepada jiwa kita untuk beriltizam (memegang teguh) kepada
Al-Islam secara total. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar